Di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Belanda, semua rumah bordil diawasi oleh polisi dan Dinas Kesehatan.
Para pelacur yang terjangkit penyakit kelamin, diwajibkan berobat ke Dinas Kesehatan.
Maraknya penyakit kelamin membuat para pria Belanda memilih alternatif lain selain prostitusi, salah satunya adalah dengan mengambil seorang perempuan pribumi untuk dijadikan Nyai.
Nyai bertugas mengurus rumah tangga di siang hari, dan melayani nafsu birahi di malam hari.
Di tahun 1890 diperkirakan separuh dari laki-laki Belanda hidup bersama Nyai. Perempuan Ini kebanyakan tak dinikahi, bahkan biasanya dibuang dan diusir jika si laki-laki Belanda, sudah dapat Perempuan Belanda atau Eropa sebagai istri yang sah.
Namun pelacuran dan perzinaan tak hanya menjadi masalah bagi orang-orang kaya dan pejabat Belanda, tetapi juga pada serdadu-serdadu mereka.
Para serdadu rendahan yang tak mampu memelihara Nyai atau tidak mempunyai istri, menjadi pelanggan utama tempat-tempat pelacuran, rumah-rumah bordil liar tanpa izin.
Akibatnya, penyakit kelamin mulai menyebar di kalangan serdadu Belanda.
Tidak hanya mempengaruhi fisiknya saja, tetapi juga secara psikis akan mempengaruhi semangat juang mereka.
Menurut laporan di tahun 1895, lebih dari 10 ribu serdadu tertular penyakit kelamin. Dan 787 diantaranya meninggal karena penyakit sifilis.






